[simple_crumbs root="Home" /]
kembali

15 September 2019

Pdt. Agus Marjanto, M.Th

Abraham(3)

Kejadian 22:14

Kita akan meneruskan tokoh Abraham. Dalam beberapa minggu ini saya akan mengkhotbahkan elemen-elemen dasar dari iman khususnya dari tokoh Abraham. Ketika kita mengatakan beriman kepada Allah, apakah sungguh-sungguh itu adalah iman yang sejati? Biarlah kita tidak menipu diri sendiri dan tidak tertipu oleh pikiran kita yang berdosa. Kita merasa beriman, belum tentu kita beriman sejati. Kita mengatakan beriman kepada Yesus Kristus, belum tentu adalah sesuatu yang benar di hadapan Allah. Selain Yesus Kristus maka Abraham adalah orang yang paling penting di dalam Alkitab. Semua nabi ketika berdoa kepada Allah, mengatakan, “Oh Tuhan, Allahnya Abraham, Ishak dan Yakub.” Paulus pun secara panjang lebar di dalam suratnya berbicara mengenai iman dan mengambil Abraham menjadi contoh yang paling panjang. Alkitab dengan jelas menyatakan, iman seperti Abraham sajalah yang mendapatkan keselamatan atau karya Allah di dalam diri seseorang yang seperti Abraham sajalah yang merupakan karya keselamatan. Saya sudah berbicara berkenaan dua hal dari elemen-elemen iman, dan nanti saya akan lanjutkan. Elemen pertama, yaitu intervensi anugerah Allah di dalam diri seseorang. Tanpa Allah membukakan diri-Nya, orang mengatakan, “Aku beriman,” imannya pasti palsu. Seluruh manusia di dunia mengatakan, “Aku beriman.” Tetapi Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa kita semua sudah jatuh di dalam dosa. Kita tidak mungkin menentukan bagi diri kita sendiri Allah yang sejati itu yang mana. Kalau kita bisa mengatakan, “Itu adalah Yesus Kristus,” sangat mungkin adalah karena ikut-ikutan orang tua atau teman. Kecuali Tuhan membukakan diri-Nya kepada orang tersebut, maka dia memiliki pengenalan pribadi dengan Allah yang hidup, yang sejati, dan memiliki iman yang benar. Tidak ada dar kita, manusia yang berdosa ini, bisa beriman dengan tepat kepada Allah yang tepat. Demikian juga Abraham. Apakah Abraham sebelumnya mengenal Allah yang sejati? Tidak. Apakah Abraham dulu mencari Allah? Tidak. Allah terlebih dahulu bertindak mendekati Abraham dan menyatakan diri-Nya kepada Abraham. Elemen pertama dari iman yang sejati adalah Allah yang sejati membukakan diri-Nya di dalam anugerah kepada orang itu. Itulah sebabnya tidak mungkin kita bisa diselamatkan tanpa anugerah. Jikalau kita menerima keselamatan yang sejati, dalam hati nurani yang terdalam saudara tahu bahwa itu adalah anugerah yang besar. Elemen kedua, iman adalah suatu perjalanan. Iman bukan sesuatu yang statis, tetapi suatu perjalanan bersama dengan Allah. Ini adalah perjalanan untuk dipisahkan. Makin lama makin sendiri secara rohani. Abraham, keluar dari negerimu, keluar dari sanak saudaramu, keluar daripada rumah bapamu. Ini bukan dikucilkan, dibuat sebatang kara. Tetapi disendirikan. Di dalam hatinya hanya mengasihi Tuhan semata. Perjalanan iman adalah perjalanan secara eksklusif makin lama hatinya makin dimiliki oleh Allah saja. Iman adalah suatu perjalanan mengasihi Allah lebih dalam lagi. Melihat Allah segala-galanya, seperti kalimat Daud. Daud memiliki segalanya, kekuatan, kemenangan, nama besar, keluarga, kerajaan, uang, ketenaran, tetapi dia bisa mengatakan, “God, You are my portion, You are my cup. Engkau adalah bagian dan warisanku. Engkau sendirilah yang meneguhkan bagian yang diundikan kepadaku.” Saudara-saudara lihat bagaimana hatinya itu disendirikan, untuk melihat Allah itu segala-galanya. Apakah engkau mengatakan dirimu orang yang beriman? Mudah mengatakan, “Aku beriman kepada Yesus Kristus, kepada Allah Tritunggal.” Kita harus menguji hati. Apakah iman kita adalah iman yang sejati? Iman yang sejati adalah iman yang hidup, iman yang berjalan. Berjalan menuju ke mana? Suatu perjalanan hidup di mana hati kita sepenuhnya makin lama makin mengasihi Allah. Banyak orang-orang di dalam kekristenan mengatakan, “Aku percaya kepada Yesus Kristus.” Tetapi hatinya bertahun-tahun tidak pernah ada perjalanan makin mengasihi Allah. Imannya statis, mati. Orang-orang seperti itu bukan memiliki iman seperti Abraham. Ujilah diri kita. Berapa tahun saudara berada di dalam gereja, menjadi Kristen? Apakah iman kita seperti Abraham, Ishak dan Yakub? Iman yang bergerak, bertumbuh? Apakah makin hari makin sadar bahwa kita hanya memiliki Allah saja, satu-satunya yang bisa kita harapkan dan inginkan? Iman adalah suatu perjalanan di dalam hidup untuk memiliki Allah dan dimiliki oleh Allah seutuhnya. Elemen ketiga adalah iman yang mengalami pengenalan akan Allah yang sejati. Iman yang sejati itu objek imannya harus tepat, presisi, precise, yaitu Allah yang sejati bukan Allah yang palsu. Semua orang dapat mengatakan, “Saya mempercayai Allah. Saya beriman kepada Yesus Kristus.” Tetapi apakah Allah yang kita percayai adalah Allah yang benar? Apakah Yesus yang kita imani adalah Yesus yang sejati? Dari mana kita tahu bahwa Allah yang kita imani adalah Allah yang sejati atau Yesus yang sejati? Adalah tergantung daripada kita mengimani Allah, mengimani Yesus seperti yang Alkitab katakan. Di dalam Alkitab ada dua peristiwa terkenal di mana orang berpikir bahwa dia beriman kepada Allah yang sejati padahal tidak. Yang pertama Kisah Para Rasul 9:1-5, “Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan. Ia menghadap Imam Besar, dan meminta surat kuasa dari padanya untuk dibawa kepada majelis-majelis Yahudi di Damsyik, supaya, jika ia menemukan laki-laki atau perempuan yang mengikuti Jalan Tuhan, ia menangkap mereka dan membawa mereka ke Yerusalem. Dalam perjalanannya ke Damsyik, ketika ia sudah dekat kota itu, tiba-tiba cahaya memancar dari langit mengelilingi dia. Ia rebah ke tanah dan kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata kepadanya: "Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?" Jawab Saulus: "Siapakah Engkau, Tuhan?" Kata-Nya: "Akulah Yesus yang kauaniaya itu.” Bukankah ini sesuatu yang ironis? Paulus (Saulus pada waktu itu), adalah orang yang murni sekali melayani Tuhan. Orang yang berani bertindak membela nama Tuhan. Seluruh yang dia lakukan bukan berdasarkan sesuatu yang evil pada dirinya, tetapi dia berpikir bahwa dia sedang membela dan melayani Tuhan sungguh-sungguh. Tetapi ketika sedang menuju ke Damsyik dengan kemarahan yang besar mau menghabisi umat Tuhan, tiba-tiba cahaya terang lebih terang daripada cahaya matahari sampai di depan dia. Kemudian dia terpelanting ke belakang, jatuh dari kuda. Kemudian ada suara, “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” Baru dia sadar, ini adalah Ilahi, ini adalah Tuhan. Lalu dia mengucapkan satu kalimat yang seharusnya dia pertanyakan sebelum dia belajar agama. Siapakah Engkau Tuhan? Dia telah belajar agama bertahun-tahun di bawah pemimpin Gamaliel. Dia mempelajari kitab suci, sungguh-sungguh berdoa kepada Tuhan, berpuasa, mengekang dirinya untuk boleh hidup saleh di hadapan Allah. Dia beriman kepada Tuhan, bukan? Tetapi ayat Alkitab ini meruntuhkan semuanya. Dia tidak beriman kepada Allah yang sejati, meskipun dia berjuang, melayani sungguh-sungguh, hatinya murni. Kemurnian hati, kesalehan, berjuang bagi Allah, penting tapi tidak cukup. Itu semua adalah hasil, bukan awal. Awalnya adalah harus mengenal Allah yang benar. Tetapi kita tidak mungkin mengenal Allah yang benar sampai Dia berkasih karunia menyatakan diri-Nya kepada kita. Kalau begitu, sejak dari pertama Paulus mendedikasikan hidupnya untuk siapa? Apakah dia dipakai oleh Allah? Tidak. Dia dipakai oleh setan untuk melawan Allah. Banyak orang berpikir seperti ini. Berpikir bahwa Allah yang dia sembah, layani adalah Allah yang sejati. Padahal tidak. Itu adalah Allah yang palsu, Allah hasil proyeksi pikirannya sendiri. Sekali lagi, tanpa anugerah tidak mungkin orang mengenal Allah yang sejati. Case kedua adalah Yohanes 8:37-44, "Aku tahu, bahwa kamu adalah keturunan Abraham, tetapi kamu berusaha untuk membunuh Aku karena Firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu. Apa yang Kulihat pada Bapa, itulah yang Kukatakan, dan demikian juga kamu perbuat tentang apa yang kamu dengar dari bapamu. Jawab mereka kepada-Nya: "Bapa kami ialah Abraham." Kata Yesus kepada mereka: "Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham. Tetapi yang kamu kerjakan ialah berusaha membunuh Aku; Aku, seorang yang mengatakan kebenaran kepadamu, yaitu kebenaran yang Kudengar dari Allah; pekerjaan yang demikian tidak dikerjakan oleh Abraham. Kamu mengerjakan pekerjaan bapamu sendiri." Jawab mereka: "Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah. Kata Yesus kepada mereka: "Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku. Apakah sebabnya kamu tidak mengerti bahasa-Ku? Sebab kamu tidak dapat menangkap firman-Ku. Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.” Ini adalah satu kalimat Yesus Kristus yang sangat tajam kepada orang-orang Yahudi, salah satu kalimat di mana Yesus harus mati. Kalimat ini membukakan mata kita begitu sangat jelas. Orang Yahudi seluruhnya sungguh-sungguh menyembah Allah. Mereka memiliki ritual-ritualnya sendiri. Tetapi Yesus mengatakan, “Engkau tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Abraham.” Itu artinya engkau tidak memiliki iman persis seperti iman Abraham. “Bapa kami satu, Abraham. Kami menyembah Allah.” Yesus mengatakan, “Tidak. Engkau menyembah setan. Bapamu adalah setan.” Jadi setiap kali mereka menyembah, menyembah setan. Dalam pikirannya menyembah Allah. Ini sulitnya luar biasa. Tetapi ayat-ayat seperti ini menjelaskan kepada kita, iman yang sejati adalah iman yang mengalami pengenalan akan Allah yang benar. Objek imannya harus tepat, harus precise yaitu Allah yang sesungguhnya. Di luar Allah yang disembah Abraham, Ishak dan Yakub, di dalam Yesus Kristus, tidak ada Allah yang sejati. Di luar Allah Tritunggal tidak ada keselamatan. Maka di sini jelas ada orang yang berpikir aku beriman kepada Allah tetapi iman itu bukan kepada Allah yang sejati. Iman itu adalah iman setan yang “mengaku Allah”. Ini adalah perikop-perikop yang sulit, tetapi realita. Bagaimana orang bisa tahu kalau dia salah? Bagaimana orang Yahudi bisa tahu kalau dia itu beriman kepada satu pribadi yang salah yang dia kira Allah padahal setan? Bagaimana Paulus bisa tahu bahwa imannya selama ini adalah iman yang salah? Titik referensinya adalah Yesus Kristus sendiri. Jikalau tidak mempercayai Yesus Kristus, bahkan menganiaya Yesus Kristus. Melawan kalimat-kalimat Yesus Kristus, bahkan tidak mengerti bahasa daripada Yesus Kristus. Tidak dapat menangkap Firman-Nya, demikian kata Alkitab, maka dia adalah beriman kepada Allah yang palsu. Dalam aplikasinya, satu hal yang penting secara rohani adalah kita harus bertumbuh di dalam mengenal Firman, mengenal Alkitab. Jikalau kita tidak bertumbuh mengenal Alkitab dan membaca Firman, kita dengan mudah sekali memakai kata Allah atau nama Yesus dan berkata bahwa kita beriman kepada Yesus tetapi sebenarnya adalah Yesus yang lain yang tidak dinyatakan dalam Alkitab. Pikiran kita mudah sekali melantur. Kita mudah sekali bergeser dari pada Allah yang sejati. Ketika saudara mengatakan sudah menjadi orang Kristen, sudah lahir baru tetapi tidak terus menerus Firman, maka kita sangat mungkin menciptakan Allah sendiri, membuat Yesus Kristus karya pikiran kita sendiri. Itulah sebabnya perlu untuk membaca Firman, karena kita akan menyadari ada satu pribadi yang sebenarnya kita tidak pernah kenal sebelumnya. Cara Dia memutuskan, cara pikiran-Nya, asing dari hidup kita. Ketika kita menyatakan bahwa Dia memberkati kita, sungguh-sungguh bacalah Alkitab, saudara akan menemukan bahwa Dia memang sungguh-sungguh memberkati kita tetapi pengertian berkat-Nya itu berbeda. Karismatik sudah masuk ke dalam jebakan seperti ini dan kalau saudara tidak membaca dan mentaati Alkitab, saudara juga akan masuk ke dalam jebakan seperti ini. Kalau saudara hanya suka permukaan luar Alkitab saja, saudara akan menciptakan Allah sendiri, menciptakan Yesus sendiri dan mengatakan saya sedang melayani Yesus, Yesus hasil ciptaan pikiran kita sendiri. Iman yang sejati objek imannya itu harus tepat, benar, precise yaitu Allah yang sesungguhnya, Yesus yang sejati yang dinyatakan, disaksikan di dalam Alkitab. Iman Abraham adalah iman yang berjalan di dalam pengenalan Allah yang sejati dan benar. Kejadian 22:2, "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria, persembahkan dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu." Dikatakan dengan jelas bahwa Allah meminta Abraham mempersembahkan anaknya yang tunggal, Ishak, sebagai korban bakaran. Ketika bicara mengenai persembahan maka tiga hal ini harus tepat: korbannya harus tepat, waktunya harus tepat, dan tempatnya harus tepat. Banyak orang ingin melayani Tuhan tetapi sebenarnya bukan yang Tuhan minta. Kita musti hati-hati jangan menipu diri kita sendiri. Tuhan dengan jelas menyatakan apa yang Dia minta dan itulah artinya persembahan, korbannya harus tepat yaitu Ishak, anakmu yang tunggal itu. Kedua, waktunya harus tepat, esok harinya dia pergi. Ketiga, tempatnya harus tepat di atas gunung Moria. Ini adalah sesuatu yang sulit. Abraham pasti sangat ngeri melakukannya, pasti dengan air mata, tetapi Alkitab mengatakan dia menaati tanpa bantahan dari mulutnya. Kenapa? Timothy Keller menjelaskan, mengambil dari buku Jon Levenson, seorang ahli Yahudi yang menyelidiki hal-hal pada waktu ancient near east. Dia menyatakan budaya ancient near east tidak sama dengan budaya barat. Budaya barat bersifat individualistis tetapi budaya kuno bersifat perwakilan dan kekeluargaan. Setiap orang di dalam keluarga mereka bertindak untuk mengusahakan kesejahteraan dan nama seluruh keluarga itu. Budaya barat sangat individualistis, seorang anak berumur 18 tahun ke atas, sudah memiliki relasi yang sangat kecil dengan orangtuanya. Tetapi dalam budaya kuno ini tidak terjadi. Setiap orang di dalam keluarga bertindak untuk mengusahakan kesejahteraan seluruh keluarga. Seluruh harapan dan mimpi dari keluarga terletak pada anak laki-laki yang sulung khususnya. Sehingga ketika anak yang laki-laki sulung itu berhasil atau gagal, akan membuat satu keluarga itu berhasil atau gagal. Jon Levenson menyatakan panggilan untuk menyerahkan anak laki-laki sulung sama seperti meminta seorang ahli bedah menyerahkan kedua tangannya atau seorang pelukis menyerahkan kedua matanya, langsung collapse. Segala sesuatu yang sifatnya masa depan ada pada anak sulung itu dan apa yang terjadi kepada anak sulung akan terjadi kepada seluruh keluarga. Anak sulung adalah representative seluruh keluarga, itulah sebabnya ketika Allah memberikan tulah kepada Mesir, tulah yang tertinggi adalah anak sulungnya mati dan itu membuat langsung Firaun collapse. Ketika melihat Alkitab saudara akan menemukan teori anak sulung ini. Alkitab menyatakan berkali-kali bahwa Israel harus mempersembahkan anak sulungnya dan jikalau mau untuk hal itu tidak terjadi, anak sulung tersebut harus ditebus. Berkenaan dengan anak sulung ada sisi positifnya dan sisi negatifnya. Persembahkan anak sulungmu kepada Tuhan, secara positif Allah akan memakai anak itu atau keluarga tersebut, tetapi sisi negatifnya adalah anak sulung ini harus dimatikan karena dia adalah representative wakil seluruh keluarganya dan seluruh keluarganya sudah berdosa. Keluaran 22:29, “Janganlah lalai mempersembahkan hasil gandummu dan hasil anggurmu. Yang sulung dari anak-anakmu laki-laki haruslah kau persembahkan kepada-Ku.” Keluaran 34:20, “Tetapi anak yang lahir terdahulu dari keledai haruslah kautebus dengan seekor domba; jika tidak kautebus, haruslah kau patahkan batang lehernya. Setiap yang sulung dari antara anak-anakmu haruslah kau tebus, dan janganlah orang menghadap ke hadirat-Ku dengan tangan hampa.” Ada satu aspek negatif, anak sulung harus dipersembahkan kepada Allah bukan karena untuk dipakai oleh Allah, tetapi dipersembahkan karena itu adalah tanda seluruh keluarganya sudah berdosa kepada Allah sehingga anak sulung harus dimatikan. Supaya anak sulung tidak dimatikan maka harus ditebus. Bilangan 3:40-42, “Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Catatlah semua anak sulung laki-laki Israel yang berumur satu bulan ke atas, lalu hitunglah jumlah mereka, dan ambillah orang-orang Lewi bagi-Ku. Akulah TUHAN sebagai ganti semua anak sulung yang ada pada orang Israel, juga hewan orang Lewi ganti semua anak sulung di antara hewan orang Israel. Maka Musa mencatat semua anak sulung yang ada pada orang Israel, seperti yang diperintahkan TUHAN kepadanya.” Kembali kepada Kejadian 22, anak sulung menjadi wakil keluarga untuk dimatikan dan semua upacara ini point-nya adalah satu, Tuhan mau mengingatkan bahwa setiap keluarga berhutang dan berdosa kepada Tuhan. Abraham mengerti Ishak diminta oleh Allah, itulah sebabnya dia tidak berbantah dengan mulutnya. Ketika Abraham mempersembahkan Ishak, dia pasti takut dan berair mata. Abraham tidak berbantah, tidak mempertanyakan hal ini karena prinsip ini jelas di dalam Alkitab, Ishak menjadi wakil keluarganya yang berdosa. Abraham menyadari bahwa Allah itu kudus dan dosa kami mengakibatkan Ishak diambil. Dia membawa Ishak, membawa menaiki gunung Moria, dengan hati yang hancur, air mata, langkah enggan, tetapi Abraham melakukannya bukan dengan blind faith. Dia mengenal Allah yang kudus dan dosa membuat Ishak diambil. Yang menjadi masalah adalah Abraham tetap tidak mengerti bagaimana Allah yang kudus itu tetap dapat menjalankan kasih karunia kepadanya sesuai dengan janji keselamatan-Nya. Allah di masa lalu sudah berjanji kepada Abraham. Allah itu kudus, aku harus membayar hutang kepada Allah. Ishak akan diambil aku tidak bertanya karena kesucian-Nya menuntut korban. Apa yang mendorong Abraham menaiki gunung itu pasti ada ketaatan, tetapi pasti ada pengharapan karena dia bersandar kepada janji Allah yang sudah Allah nyatakan kepada dia tentang keselamatan. Ada satu kalimat yang mengindikasikan pengharapan Abraham, Kejadian 22:5, “Kata Abraham kepada kedua bujangnya itu: "Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini; aku beserta anak ini akan pergi ke sana; kami akan sembahyang, sesudah itu kami kembali kepadamu.” Perhatikan, dia tidak mengatakan “aku akan kembali” tetapi “kami akan kembali.” Abraham tidak tahu bagaimana Dia melakukannya, bagaimana Allah akan menggabungkan kekudusan dan cinta-Nya, bagaimana Dia menggabungkan keadilan-Nya dan kasih karunia-Nya. Menggabungkan keduanya pada titik yang sama di saat yang sama dia tidak tahu, dia tidak bisa menjelaskan. Sampai kemudian Abraham ada di sana dan Allah menyediakan Kalvari. Yesus Kristus, anak domba itu, harus dimatikan tetapi Allah memberikan kasih karunia pada tempat yang tepat, pada tempat yang sama dan waktu yang sama. Abraham tidak menunjukkan iman yang buta. Iman jikalau itu sejati adalah pengenalan akan Allah yang hidup, yang sejati. Jika Abraham tidak mempercayai Allah itu kudus, maka dia tidak akan membawa dirinya yang berdosa dan membawa Ishak ke gunung itu. Dia akan melawan Allah. Dia akan menyangkal dirinya. Juga jikalau Abraham tidak mempercayai adanya kasih karunia dari Allah, bahwa Allah adalah sumber segala anugerah bagi dia maka Abraham akan terlalu putus asa dan dia akan mati mungkin sebelum sampai di atas gunung itu. Perhatikan! Hanya karena Abraham mengetahui bahwa Allah itu kudus dan Allah itu berkasih karunia, maka Abraham memiliki kekuatan di dalam kegentarannya yang dahsyat untuk melangkahkan kakinya ke atas gunung itu. Pada saat Abraham mau membunuh Ishak terdengarlah suara: “Abraham, Abraham jangan bunuh anak itu.” Kemudian Abraham menoleh ke belakang, dia melihat ada satu domba jantan di sana dan Abraham membawa domba jantan itu dan menyembelihnya. Imannya langsung menuju kepada ribuan tahun di depan. Allah Jehovah Jireh, Allah yang akan menyediakan bagi umat-Nya. Dan ribuan tahun sesudahnya, Tuhan sungguh-sungguh menyembelih seorang anak sulung, anak sulung-Nya sendiri yaitu Yesus Kristus di atas kayu salib sebagai ganti anak sulung Abraham, Daud dan seluruh Rasul dan seluruh umat pilihan-Nya termasuk anak sulung saudara dan saya. Itulah iman. Iman itu adalah mengenal Allah yang sejati dan Allah yang sejati adalah Allah di dalam Yesus Kristus. Elemen keempat adalah melihat kemuliaan dan signifikansi Kristus yang tidak tergantikan. Anak sulung Bapa di surga yang dipersembahkan di atas Kalvari untuk engkau dan saya. Itu adalah iman yang sejati. Karena itu, anak sulung dari orang-orang Israel tidak perlu mati. Maka sekarang Allah mengatakan kepada orang-orang Israel, berikan anak sulungmu melayani Aku. Saya akan akhiri. Apakah engkau anak sulung? Allah sudah menebus hidupmu, engkau tidak perlu mati. Sekarang engkau yang sudah ditebus, engkau hidup untuk siapa? Jikalau engkau adalah anak sulung atau bukan sulung tetapi engkau tahu seluruh keluargamu adalah keluarga yang berdosa dan kesulunganmu itu didapat karena iman di dalam Yesus Kristus, pada pagi hari ini di dalam iman saya encourage engkau, saya dorong engkau untuk bangkit mewakili seluruh keluargamu, katakan kepada Tuhan, Tuhan seharusnya keluargaku itu mati tetapi aku berdiri di sini di dalam Yesus Kristus, terimalah persembahan yaitu diriku dalam Yesus Kristus. Pakailah aku menjadi milik-Mu. Lihat aku di sini. Aku mewakili, aku representative keluargaku. Aku melihat seluruh papa mama dan seluruh keluarga besarku adalah orang-orang berdosa. Tetapi Engkau ya Tuhan, Engkau sudah menyelamatkan aku. Aku berdiri di sini menjadi wakil mereka, pakailah aku. Kiranya hati-Nya boleh disukakan. Kiranya persembahan anak sulung itu menjadi kemuliaan bagi keluarga kita. Mari kita berdoa.

Alamat

556 - 558 Botany Road, Alexandria, NSW, 2015
sekretariat@griisydney.org
0422690913
0430930175

Social Media

Facebook GRII Sydney Instagram GRII Sydney Twitter GRII Sydney


Google Play Store
App Store

^